Tentang Hidup Tanpa Sosok Bapak

Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan. Saya selalu merasa bahwa sesuatu yang saya pikirkan dan rasakan layak diketahui oleh orang lain. Namun, itu kan hanya sangkaan saya. Untuk hal ini, saya selalu berpikiran negatif. Adakah orang yang bisa suka rela mendengarkan cerita saya? Akankah mereka mengerti keresahan yang saya alami? Saya bahkan tidak tahu harus mulai bercerita dari mana….

Di tengah kebingungan itu, seorang teman dekat mengirimkan sebuah chat pendek. “Mulai dari sini.” Maka, kuputuskan untuk menulis keresahan ini sekarang. Di sini.

Akhir-akhir ini, saya sering merasa kangen dengan suasana rumah yang lengkap. Ada ibu, ada juga bapak. Saya kangen suasana maghrib yang hangat ketika bapak dan ibu bercerita apapun yang mereka alami seharian.

Semenjak bapak meninggal ketika saya masih berada di bangku SMP, otomatis saya hanya memiliki satu orang tua, Ibu. Beliau memutuskan untuk tidak menikah lagi walaupun pada saat itu kondisi ekonomi keluarga kami sedang jauh dari kata stabil. Sakit yang diderita bapak setahun terakhir benar-benar menguras asset keluarga kami.

Namun, di tengah keterpurukan sepeninggal bapak, ibu dengan mantap berkata “Ibu tidak akan menikah lagi. Adalah hal yang gampang mencari lelaki yang mampu memberikan nafkah lahir. Namun ibu tidak yakin orang itu akan memberikan cinta yang sama dengan apa yang bapak kalian berikan.”

Sebuah keputusan yang sampai saat ini saya yakini sebagai keputusan tepat.

Pada masa SMP hingga SMK, saya merasa bahwa hidup saya yang dibesarkan oleh seorang single mom berjalan baik-baik saja. Saya masih bisa sekolah sampai lulus SMK tanpa kendala, masih bisa makan sederhana namun cukup adanya, masih bisa bermain dengan bebas seolah tak ada hal di hidupku yang bermasalah.

Memasuki masa kuliah, semua kenyamanan itu seakan musnah. Berbagai masalah datang satu persatu membuat saya kian resah. Pada saat itulah, saya merasa ada sebuah ruang di hidup saya yang hanya diisi oleh kekosongan. Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk menyadari bahwa ruang kosong itu seharusnya diisi oleh sosok seorang bapak.

Ya, saya mulai merasakan beratnya kehilangan sosok seorang bapak.

Bagian terberat dari kehilangan sosok seorang bapak bukanlah melulu soal materi. Apalagi ketika saya sudah dewasa, bisa menghidupi setidaknya diri saya sendiri. Kehilangan sosok seorang bapak berarti kehilangan sosok teladan. Saya kehilangan seseorang yang mungkin bisa memberikan contoh sekecil apapun dalam menjalani kehidupan.

Ketika masa-masa sulit saya sebagai seorang lelaki, saya kadang memikirkan bagaimana bapak menghadapi semua ini pada masanya. Apakah dulu bapak pernah merasa galau karena seorang perempuan yang dia cintai? Pernahkah bapak merasa kebingungan untuk menentukan jalan hidup mana yang harus diambil? Pernahkah? Bagaimana bapak dulu menyelesaikannya?

Sekarang saya sadar. Saya hanya mengambil contoh dari satu orang tua, yaitu ibu. Untuk beberapa masalah, saya tidak mungkin bertanya kepada ibu karena beliau belum tentu pernah mengalaminya. Untuk masalah yang berkaitan dengan dunia lelaki, saya hanya bisa menyelesaikannya sendiri.

Mungkin saya terdengar kurang bersyukur. Di luaran sana bahkan banyak orang yang tumbuh tanpa kedua orang tua. Saya masih beruntung bisa memiliki seorang ibu. Wanita tangguh yang membesarkan saya dengan kasih sayang dan materi tentunya. Saya masih beruntung bisa menemukan seseorang yang selalu ada ketika saya pulang ke rumah setiap sore sepulang kerja.

Namun, kenyataannya saya kadang iri dengan orang yang masih memiliki orang tua lengkap di rumahnya. Mereka bisa mencontoh sesuatu yang dikerjakan oleh orang tuanya agar bisa diterapkan dalam kehidupannya. Untuk anak lelaki, mereka memiliki seorang pria hebat yang bisa dijadikan idola. Dijadikan role model dalam menjalani kehidupannya. Seorang pria yang bisa dengan nyaman dipanggil “Bapak”.

Menurut saya, tempat curhat ternyaman selain Tuhan, tempat saya bisa ngobrol tentang apapun adalah dengan orang tua. Seorang perempuan yang tersakiti di luar rumah bisa sepuasnya mengadu kepada ibunya. Seorang lelaki yang terus-menerus mengalami kegagalan di luar sana bisa bercerita sebebas apapun kepada bapaknya. Mereka memiliki sosok untuk dicontoh. Sosok panutan pemberi panduan ketika mereka bingung untuk melakukan sesuatu. Orang tua selalu hadir dengan jawaban yang tidak akan bisa didapatkan dari orang lain.

Saya?

Saya kadang tidak bisa seterbuka itu dalam menceritakan masalah-masalah pelik yang saya alami. Terutama kepada ibu. Ada perasaan yang harus saya jaga. Ada kondisi yang harus saya pertahanakan agar segalanya tetap dianggap baik-baik saja.

Ya, aku bisa saja menjadikan orang lain sebagai role model. Menjadikannya contoh lelaki dewasa yang hebat. Menirunya dalam berbagai aspek. Masalahnya, mereka tetap saja “orang lain”. Ada jarak dan sekat yang membatasi. Mereka tidak bisa dijadikan sosok pengganti bapak yang telah lama pergi.

Saya sebenarnya memiliki seorang kakak laki-laki yang sudah cukup dewasa untuk mengerti permasalahan orang dewasa. Namun kakakku itu jarang ada di rumah. Dia bekerja di luar kota yang teramat jauh untuk dijangkau. Bukan masalah jarak, hanya saja saya lebih nyaman bercengkerama langsung daripada berhubungan via telepon atau sejenisnya. Sekalipun dia pulang ke rumah saat hari raya, saya tak pernah sanggup untuk membicarakan hal-hal seperti itu.

Ah, sulit rasanya untuk terus berpura-pura. Hidup tanpa sosok seorang bapak tak pernah bisa dikatakan baik-baik saja. Ibu dan bapak memiliki perannya masing-masing dalam membentuk watak seorang anak. Kehilangan salah satunya, apalagi di masa belia dapat berpengaruh banyak pada berbagai aspek kehidupannya di masa depan.

Seratus persen saya mengerti. Ini adalah jalan yang sudah digariskan Tuhan. Dia sayang kepada bapak, Dia juga percaya kepada saya. Percaya bahwa bahkan tanpa sosok seorang bapak, saya bisa hidup layak seperti biasa. Pasrah. Semua ini saya terima dengan kelapangan dada.

Untukmu yang mengalami dan merasakan hal yang kurang lebih sama, mari berjabat tangan. Panjatkan do’a. Semoga Tuhan tetap memberi petunjuk di setiap jalan yang kita lalui.
Terima kasih sudah membaca. Tetaplah bahagia.

Ditulis oleh Apep Wahyudin
Selasa, 19 Nov 2019

Jatuh Cinta Adalah Hal yang Sulit

Jatuh cinta adalah hal yang sulit.

Mengingat kita adalah sama-sama korban kegagalan di masa lalu. Yang terburu merasa nyaman tanpa pernah bisa membedakan antara cinta atau sekedar rasa penasaran. Kita sama-sama pernah memperjuangkan seseorang dengan hanya satu tujuan: kebahagiaan. Segala rela ditumpahkan bersama derai air mata, manakala daya dan upaya hanya berakhir sebagai goresan-goresan luka.

Karena jatuh cinta adalah hal yang sulit.

Kita dipaksa menutup luka yang menganga sekian lama walaupun perih. Memaksa kaki untuk kembali berjalan meninggalkan tempat berdiam meski terasa pedih. Menutup buku, membuka lembaran baru kemudian berdamai dengan masa lalu. Mengisi ruang kehampaan yang dulu pernah diisi seseorang, memenuhinya dengan kebahagiaan di masa depan.

Dan kau hadir sebagai kemudahan di tengah kesulitan. Mendobrak dinding ketidakpercayaan akan cinta yang benar-benar ada. Membumihanguskan benteng yang kubangun atas pondasi sakit hati. Dengan cara tersadis namun manis, sebuah dunia baru kaubukakan untukku.

Cinta, ia hadir sebagai suatu yang tak terduga. Selayak mentari di tengah mendung temaram atau oasis di tengah gurun pasir. Cinta juga datang sebagai tentara gerilya. Ia mengendap-endap dalam sunyi, mendekap dan membekap logika, menodongkan senapan seraya memaksa untuk menyerah di hadapanmu.

Aku tak bisa mengelak. Mencoba berontak namun magismu terlalu kuat. Di tanganmu, hatiku adalah tawanan yang tak rela dibebaskan.

SURAT UNTUK ANAK KECIL YANG KUPANGGIL “AKU”

Teruntuk kamu: Seorang anak dari masa lalu yang kupanggil “Aku”. Apa kabarmu? Masih seringkah kau takut dengan teman sebayamu yang tubuhnya lebih besar? Masih seringkah kamu menangis diam-diam di kamar ketika dunia tak seindah gambaran di buku pelajaran? Atau, masihkah kau membenci setiap orang setiap kali hatimu tersayat terluka?

Tentang Selera yang Berbeda (Bagian 2)

Lantas, bagaimana saya memandang diri saya sendiri?

Sederhana saja. Saya memandang diri saya sendiri sebagai orang normal dengan selera yang “berbeda”. Saya sama dengan orang-orang pada umumnya. Ini hanya masalah suka dan tidak suka. Bukankan setiap orang mengalami hal yang sama? Suka dan tidak suka hanyalah masalah selera. Subjektif. Suatu hal yang tidak bisa disalahkan. Kamu punya hak untuk menyukai sesuatu. Kamu punya hak untuk TIDAK menyukai sesuatu. Bahkan tanpa alasan sekalipun. Itu adalah hak.

Tentang Selera yang Berbeda (Bagian 1)

Kita tinggal di negara agraris bernama Indonesia. Sebuah negara dengan budaya berupa-rupa. Dari budaya yang biasa-biasa saja, hingga suatu yang cukup aneh kedengarannya. Salah satu budaya sebagian besar orang Indonesia adalah makan nasi sebagai makanan pokok. Tentu saja, hal ini didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang sangat mendukung untuk menanam padi. Saking banyaknya orang yang mengonsumsi nasi, negara kita bahkan harus mengimpor beras dari negara tetangga (haha, negara agraris apanya?). Yang menarik dari kebiasaan orang Indonesia dalam mengonsumsi nasi adalah munculnya ungkapan bahwa “seseorang belum bisa dikatakan sudah makan jikalau belum mengonsumsi nasi”. Ada teman saya yang mengaku belum sarapan padahal sudah menghabiskan lima lontong dengan tambahan lima tahu isi lengkap dengan secangkir kopi. Namun tetap saja, dia mengaku masih lapar kalau perutnya belum terisi nasi.

Benar-benar budaya yang unik namun tidak cocok dengan saya.