Rahasia Senja dan Secangkir Kopi [Jatigede Travel Writing]

Jika kau sedang memiliki waktu luang, atau mungkin tempat kerjamu sedang libur, mampirlah ke rumahku sekali-kali. Bagi yang belum tahu, rumahku berada di sebuah dusun bernama Ciduging yang merupakan bagian dari Desa Tarunajaya Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang. Rumahku bisa ditempuh dari pusat kota Sumedang selama satu jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor.

Dari rumahku, aku akan membawamu ke tempat yang sederhana namun bisa sangat istimewa. Itu adalah tempatku mengistirahatkan tubuh dan pikiran, mencari inspirasi, dan yang terpenting, menikmati senja.

Tempat yang kumaksudkan tidak lain adalah ikon terbaru Kabupaten Sumedang, Waduk Jatigede. Sebenarnya, ada banyak tempat yang bisa dinikmati di waduk kedua terbesar di Indonesia ini. Namun, menurutku, tempat terbaik untuk menikmati senja adalah di tempatku: blok pantai Cikuya. Di sana adalah tempat yang paling cocok untuk menikmati cahaya kuning keemasan yang muncul seraya sang surya tenggelam di ufuk barat. Posisinya yang berada di bagian timur Waduk Jatigede membuat semburat senja terlihat lebih indah dibandingkan di tempat lain.

Walaupun rumahku berdekatan dengan pesisir waduk Jatigede, namun untuk mencapai blok Cikuya diperlukan perjuangan yang cukup besar.


Tidak ada jalan beraspal, hanya jalan setapak yang membentang di antara rimbunnya kebun bambu. Sebuah sungai juga telah menunggu untuk disebrangi di tengah perjalanan kita tanpa jembatan penyeberangan. Saranku, jika kau hendak menikmati senja di sana, bawalah lampu senter! Saat malam hari, jalan setapak ini akan menjadi sangat gelap tanpa ada penerangan, kecuali, mungkin cahaya rembulan yang kebetulan bisa menembus sela-sela dedaun bambu. Cukup menantang bukan?

Perjalanan dari rumah menuju blok Cikuya biasanya memakan waktu 15 menit berjalan kaki. Di tempat ini kau tidak akan menemukan objek wisata yang bersifat hura-hura. Hanya sebuah pesisir waduk Jatigede biasa. Lebih tepatnya, tempat yang akan kita kunjungi adalah sebuah warung kecil yang terletak di pinggir waduk jatigede. Warung ini milik salah satu warga dusun Ciduging bernama Budi atau biasa dipanggil Mang Abud. Bentuknya sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu khas gubuk-gubuk yang biasa didirikan di tengah sawah. Lantainya hanya tanah merah yang mengeras secara alami. Tempat duduknya berkonsep lesehan terbuat dari bilah bambu yang disebut talupuh. Suasana kesederhanaan terasa amat kental di sini. Cocok untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran dari hiruk-pikuk perkotaan atau sekedar bersantai sambil ngobrol bersama orang-orang terdekat.


Posisi warung ini tepat menghadap luasnya hamparan air waduk Jatigede. Dulu, daerah ini adalah sebuah areal perasawahan yang amat luas. Tepat di tengah persawahan tersebut, sebuah pesantren tertua di kecamatan Darmaraja pernah berdiri. Semua informasi itu aku dapatkan sebagian dari pengetahuanku yang memang warga asli dan juga dari sang pemilik warung, Mang Abud. Kalau kau penasaran, kau bisa bertanya sepuasnya kepada beliau tentang sejarah waduk Jatigede ini terutama yang berkaitan dengan blok cikuya dan sekitarnya.

Sambil menunggu senja datang menampakkan bias keemasannya, kita bisa memesan segelas kopi dan beberapa cemilan. Harga segelas kopi di warung ini memang masih manusiawi, tidak seperti harga kopi di cafe-cafe modern di pusat kota. Segelas kopi panas hanya dihargai Rp. 3000. Itu adalah harga yang sangat masuk akal kurasa. Sebungkus cemilan bisa dibeli mulai dari Rp. 500 sampai dengan Rp. 1000. Benar-benar harga yang sangat murah bila dibandingkan dengan suasana yang kita dapatkan. Jika tidak suka kopi, kau juga bisa memesan sebutir kelapa muda utuh yang dihargai hanya Rp. 10.000 per butir.


Menikmati segelas kopi di pesisi waduk Jatigede memang menghadirkan sensasi tersendiri. Semilir angin membelai tiap titik syaraf, mengahantarkan aroma kopi yang harum menuju hidung. Sejuknya angin dapat menentramkan jiwa yang kalut dan kusut setelah seminggu penuh bekerja atau berkuliah. Matamu akan dihibur oleh pemandangan burung-burung kuntul yang hinggap bergerombol di atas rumpun-rumpun bambu yang hampir tenggelam di tengah-tengah waduk. Bambu-bamu tersebut kini telah berwarna kecokelatan, hampir mati. Sebagai info tambahan, rumpun-rumpun bambu ini belum tenggelam sejak awal pembangunan waduk Jatigede.


Sesekali, kau juga bisa melihat perahu-perahu wisata hilir mudik membelah luasnya waduk, menghasilkan riak-riak air di belakangnya. Suaranya yang khas bisa terasa seperti musik yang datang dari kejauhan. Jika kau tertarik untuk ikut berpetualang di atas perahu wisata, kau bisa menghubungi Mang Abud. Biasanya dia akan menghubungi rekannya yang berprofesi sebagai operator perahu. Dengan biaya Rp. 10.000 per orang, kau bisa merasakan sensasi mengapung di atas waduk dengan kedalaman hampir 100 meter itu. Namun, biasanya operator perahu akan menolak untuk ‘narik’ jika penumpangnya sedikit. Ini dikarenakan biaya bahan bakar yang harus dipertimbangkan.

Setelah bersabar menunggu dan segelas kopi yang tadi kau pesan juga telah tandas, kini tibalah pada grand final dari perjalanan kita. Semburat warna kuning keemasan berpendar dari barat. Bayangannya memantul di permukaan air waduk Jatigede yang jernih. Menghasilkan efek kilauan yang dapat menyejukkan mata siapapun yang melihatnya. Saat inilah, waktu yang tepat untuk berfoto ria. Efek siluet matahari terbenam memang sulit didapatkan di sembarang tempat. Namun, di sini, hal itu bisa kau temui setiap hari selama cuaca sedang cerah dan awan tak bergulung terlalu banyak.

Biasanya, matahari terbenam atau biasa kita sebut sunset ini akan menampakkan keindahannya sekitar pukul 17.30 sampai dengan pukul 17.45. Setelah itu, kegelapan akan mulai menyelimuti sekelilingmu. Mungkin sunset hanya terjadi sebentar, namun bagiku dan bagimu, dia selalu berkesan. Memang, tidak semua orang mengerti tentang arti keindahan matahari terbenam. Tapi, untuk orang seperti kau dan aku, suasana hangat sore hari di bawah naungan cahaya kuning keemasan bisa menjadi teramat istimewa. Kalau bisa, ingin kuiris sepotong senja sore itu bersama siluet di sekitarnya, mengubahnya menjadi puisi kemudian mengirimkannya padamu.





Oh iya, hampir aku lupa! Tak lengkap jika berwisata tanpa adanaya buah tangan yang bisa dibawa ke rumah. Di blok Cikuya waduk Jatigede, kau bisa membeli beberapa kantung ikan asin kering buatan tangan para nelayan. Atau, mungkin kau tertarik dengan ikan segar hasil pancingan warga sekitar. Mang Abud akan dengan senang hati mengantarmu berkeliling mengunjungi rakit-rakit tempat warga dari berbagai daerah di Sumedang menyalurkan hobi memancingnya. Jika kita beruntung, kita bisa menemukan pemancing yang hasil pancingannya cukup banyak untuk dijual. Harga yang ditawarkan yaitu Rp. 20.000 per kilogram.




Ketika kita sudah puas dengan semuanya: segelas kopi, sekantung ikan kering, beberapa kilogram ikan segar, dan memori tentang semburat cahaya senja bersiaplah untuk pulang! Nyalakan senter yang telah kita persiapkan sebelumnya karena hari pasti sudah gelap. Kita akan melewati jalan yang sama pada saat kita berangkat tadi. Masih ingat dengan rutenya?

Jatigede/Sumedang 02 Juli 2017
Apep Wahyudin

No comments:

Post a Comment