Puisi dan Kebiasaan

Ada 100 juta orang miskin luarbiasa di negeri saya
Minum mimpi, makan angan-angan, sudah sangat lama
-Gurindam Dua (Kesatu) karya Taufiq Ismail


Apa makna puisi bagi saya? Puisi, bagi saya adalah sebuah alat, media yang memungkinkan seorang yang miskin sekalipun untuk bisa "berbagi". Puisi memungkinkan penulisnya untuk mengekspresikan apapun yang ada di otaknya. Puisi itu bebas. Bebas dalam artian yang sesungghnya. Tidak ada aturan baku. Hanya ada makna tersembunyi yang mungkin hanya sang penyairlah yang tahu.

Ada beberapa penyair puisi yang saya kagumi. Joko Pinurbo, Taufiq Ismail, W.S. Rendra, Widji Thukul, beberapa puisi mereka memang indah. Ada hal yang tidak bisa ditangkap dari puisi mereka melalui penalaran biasa. Ada makna yang tersembunyi menanti untuk ditemukan.

Ada sebuah kebiasaan yang sering saya lakukan ketika membaca sebuah puisi. Kebiasaan itu adalah mmukulkan buku/naskah puisi yang saya baca ke jidat saya. Mungkin orang mengaggapnya aneh. Tapi itulah saya. Sebenarnya kebiasaan itu adalah sebuah penghargaan bagi puisi yang saya rasa puisi paling JENIUS. Puisi yang harus dibaca berulangkali untuk bisa mendapatkan makna yang dimaksud. Setelah saya sadar akan makna puisinya, saya akan merasa puisi itu layak disebut JENIUS dan secara bersamaan menganggap kemampuan berpuisi saya masih sangat AMATIR.

Sudah sekian tahun mayatku hilang
Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang.
“Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan,
nonton komedi manusia di kebun binatang.”
Begitu ia dulu pamitan.

-Joko Pinurbo (Celana)