CATATAN AKHIR TAHUN [Kepada Eki]

Nadi yang keriput, urat yang semakin tua.
Si Lunta masih menangis di pojokan malam.
Jemari kurusnya bergemeretak, bergetar seakan diguncang nestapa tanpa jeda.

Bibirnya semakin pintar mengucap-ucap kata, membilang-bilang angka yang semakin hari semakin berkurang jumlahnya. Menghitung setiap tetes air mata di pusara waktu di keranda rindu. Mengingat-ingat bait sajak yang dulu selalu terlantun dari penyair-penyair dimabuk asmara di sebuah gubuk tua.
“Terlalu cepat.” Ucapnya lirih.

Si Lunta kini hidup sebatangkara. Sejak saat itu, tingkahnya tampak semakin asing saja. Wajahnya memucat, tangannya memanjang dan bibirnya menebal. Kerjaannya setiap hari hanya tertawa kegirangan di pojokan malam.

Tawa demi tawa seakan bebas lepas dari kerangkeng mulutnya. Seperti membuang nestapa tanpa jeda seiring tawa yang banyaknya justru bernada luka.
“Terlalu lama!” Pekik si Lunta di akhir tiap tawanya.

Nampaknya semesta telah mengizinkannya untuk beristrirahat malam ini. Menyuruhnya untuk sejenak tertunduk di hadapan waktu.

Malam mulai menelanjanginya.
Perlahan, dicopotnya pakaian lelah dari tubuh kurus si Lunta satu persatu. Ditutupinya tubuh itu dengan selimut berbahan kalbu.

“Beristirahatlah, anakku. Berbahagialah, Pejamkan lelahmu, tidurkan kecewamu. Biarkan mimpimu pergi meninggalkanku.” Ucap malam.

“Tidak. Biarkan aku terjaga di pangkuanmu. Aku yang akan menjadi saksi ketika pagi datang merenggut jiwa dan seluruh memorimu.”

Kau yang dibunuh waktu

Puisi ini aku buat untuk sahabatku, alm. Riszky Octaviani (Eki). Di malam tahun baru 2017 itu, terlintas sebuah raga yang kini terbaring di tanah. Iya, puisi ini terlalu jelek untuk persahabatan kau, aku dan teman-teman sekelas yang lain. Iya, puisi ini hanya berisi sumpah serapah dariku yang tak pernah rela mengenakan baju toga tanpamu kelak. Iya, puisi ini memang tak pernah bisa mengubah apapun. But, hey, at least I can make my memories about you eternal.


You've gone every single piece, but not the memories.