Sebuah Keresahan akan Bahaya Sebuah Ketakutan

Persib menang! 3-2. Bojan Malisic dengan gagahnya menyundul bola di menit terakhir babak kedua. What a "killing the game" goal. Akhirnya setelah bertahun-tahun tidak bisa mengalahkan rival abadinya, Persija Jakarta, Bobotoh kembali bersuka-cita. Mereka merayakannya sambil berpesta pora. Aku sebagai penduduk asli Jawa Barat yang setiap kali Persib main selalu mantengin layar laptop untuk sekedar streaming pertandingan juga ikut senang.

Opini Tentang 'Anak Zaman Now'!

Pernah nggak sih kalian mendengar ungkapan seperti ini: "Anak zaman sekarang memang susah diatur!" atau "Anak zaman sekarang sudah rusak pergaulannya."? Mungkin bisa dikatakan bahwa ini adalah kata-kata sakti sejuta orang tua. Bukan hanya di dunia nyata, di dunia mayapun ungkapan ini sering kita jumpai.

Seperti baru-baru ini ketika teman seperjuangan saya mengunggah sebuah hasil tangkapan layar berisi judul berita tentang banyaknya korban miras oplosan. Sebenarnya nggak ada yang salah dengan postingan kawan saya ini. Berita tersebut memang benar, bukan hoax. Namun yang membuat saya sedikit gerah adalah caption yang mengiringi postingan tersebut. Kawan saya ini membubuhkan caption sebagai berikut:

Masihkah mau menutup mata akan "rusaknya" generasi sekarang yg katanya "anak zaman now"?

Keusilan saya kumat. Berbekal sedikit argumen, saya mencoba mengomentari postingan tersebut. Intinya, saya nggak setuju dengan ungkapan bahwa generasi sekarang itu sudah rusak. Jujur saja, ini nggak fair. Kalimat itu seolah-olah memukul rata bahwa SEMUA generasi sekarang itu sudah rusak oleh pengaruh minuman keras. Nggak bener ini.

Kami pun berbalas komentar. Sedikit perdebatan terjadi dan saya menganggap hal ini adalah biasa. Orang berhak berpendapat dan juga berhak untuk mempertahankan pendapatnya.

Bodohnya saya, kawan saya ini sukses membelokkan topik perdebatan. Dari asalnya ketidaksetujuan saya tentang penggunaan ungkapan "rusaknya generasi sekarang", 'comment war' berbelok arah perihal penanganan remaja yang terjerumus kepada minuman keras. Kawan saya ini bahkan sempat menanyakan sikap saya jika mendapati orang terdekat saya meminum minuman keras.

Di titik ini, saya sadar bahwa topik pembahasan sudah melenceng. Saya tidak lagi kompeten untuk membahas topik yang dibicarakan. Karena hal ini, 'comment war' saya akhiri secara baik-baik.

But.... Here is the thing:

Kembali ke pembahasan tentang "Anak zaman sekarang pergaulannya sudah rusak" di paragraf pertama, sebenarnya saya tidak pernah setuju dengan ungkapan ini. Begini, fenomena yang saya alami adalah banyak orang dewasa (walaupun nggak semua) yang suka membanding-bandingkan antara generasi zaman sekarang dengan generasi mereka di waktu yang telah lalu.

Sering saya mendengar seseorang berkata "Dulu saya main kasti setiap sore. Sehat! Nggak seperti anak zaman sekarang yang tiap hari mainannya handphone dan internet." Nggak seluruhnya salah, sih. Tapi, ungkapan semacam ini seolah menunjukkan bahwa generasi zaman sekarang selalu lebih buruk daripada generasi zaman dulu. Dan sekali lagi, ini nggak fair.

Pertanyaanya, generasi zaman old lebih baik dalam hal apa dulu?

Oke cukup tentang perbandingan lintas-generasinya. Menyoal kasus miras oplosan yang menewaskan puluhan orang itu, come on man. Minuman keras sudah ada di Indonesia sejak ratusan atau ribuan tahun yang lalu! Dan percaya atau tidak, beberapa daerah di Indonesia bahkan memiliki minuman keras khas masing-masing.

Kalau kita berpikir bahwa kebiasaan mabok itu baru ada sekarang-sekarang, tentu itu adalah kesalahan besar. Mabok dan ngoplos bukan hanya terjadi di anak muda zaman now, tapi juga terjadi di anak muda zaman old.

Sejak dulu. orang tua kita selalu berpesan untuk selalu menjaga pergaulan. Bertemanlah dengan orang-orang yang baik. Kalaupun terpaksa dekat dengan orang-orang yang 'buruk' kita dianjurkan untuk menjaga jarak serta membentengi diri kita agar tidak terbawa arus pergaulan yang buruk. Hal ini, menurut saya adalah bukti bahwa masalah pergaulan memang sudah ada sejak dahulu. Hanya saja kriteria pergaulan yang buruk itu tentu berbeda di setiap generasi.

Lantas, masih pantaskah kita mengeluarkan ungkapan "Anak zaman sekarang pergaulannya sudah rusak"?

Bukankah miras sudah ada sejak dulu. Free-seks merajalela bahkan sejak zaman jahiliyah sampai sekarang. Narkoba telah menjadi candu sejak ratusan tahun sebelum masehi hingga saat ini. Kata-kata kasar menjadi penanda setiap era.

Ayolah, kawan! Berhenti menggeneralisasi. Berhenti memukul rata. Harus diakui memang generasi zaman dulu lebih baik dari generasi zaman sekarang DALAM BEBERAPA ASPEK. Namun itu tidak semuanya. Generasi zaman sekarang tidak selalu lebih buruk dari generasi zaman dulu. Percayalah, setiap era memiliki masa kejayaannya. Setiap era memiliki masa kegelapannya. Setiap era selalu memiliki problematika.

Satu hal yang harus kita percaya:
Setiap orang ada masanya. Setiap masa ada orangnya.

Salam.
WP

Hari Kedua KKL

Kami sekelompok memutuskan untuk survey ke beberapa sekolah di desa tempat kami berkegiatan. Rencananya, kami akan melakukan kegiatan mengajar bahasa Inggris selama tiga minggu ke depan. Tidak nyambung memang, aku dan kelompokku bukan mahasiswa program studi pendidikan bahasa. Kami murni sastra Inggris berbasis pariwisata. Namun, karena keadaan desa yang memang tidak memungkinkan untuk adanya pengembangan kepariwisataan, maka bidang pendidikan dengan suka rela kami kerjakan. Sempat kurencanakan pula untuk menggali potensi kesusastraan di desa ini. Mungkin jika aku beruntung, aku bisa bertemu orang-orang sepertiku, pencinta puisi atau semacamnya. Lagi-lagi, rencana tinggal hanya rencana. Mungkin di sinilah kreatifitas kami diuji. Ah, aku selalu ingin menjadi pionir dalam hal pengembangan minat baca dan sastra di daerah-daerah semacam ini. Mengingat minat baca masyarakat Indonesia memang sangat memprihatinkan: 60 dari 61 negara di dunia. Miris....

Kegiatan survey dan sosialisasi kegiatan telah selesai. Cukup melelahkan, juga menyenangkan. Bertemu orang-orang baru, anak-anak kecil lucu (entah apa mereka akan selucu ini ketika dewasa nanti). Atas dasar demokrasi, kami memutuskan untuk pulang, didampingi oleh ibu kepala dusun. Ya, kepala dusun kami adalah seorang perempuan. Dan percaya atau tidak, ketua RT tempat kami tinggal juga sama, perempuan! Betapa emansipasi dan teori feminisme dijalankan dengan baik di sini.

Di perjalanan pulang, kami melewati kantor kecamatan, bersebelahan dengan puskesmas kecamatan conggeang. Orang-orang berkumpul membicarakan sesuatu yang kulihat sekilas sangat mengagetkan. Benar saja, telah terjadi kecelakaan tunggal yang dialami suami-istri. Sepeda motor yang mereka tunggangi dengan berboncengan menabrak pilar pagar sebuah vila. Dikabarkan bahwa sang suami mengalami vertigo mendadak sehingga tidak mampu menguasai laju kendaraannya.  Betapa terkejutnya aku dan teman-teman manakala kami mengetahui bahwa tempat kejadian perkara kecelakaan hanya berjarak seratus meter dari posko KKL! Benar-benar gila! Baru dua hari kami tinggal, sebuah kejadian mengerikan terjadi di depan mata! Kabar menyebar, sang suami meninggal dunia akibat pendarahan parah di bagian kepala. Sang istri yang malang kini koma setelah dilarikan ke rumah sakit umum daerah Sumedang. Tak pernah bisa terbayangkan, ketika ia sadar dari komanya, sang istri harus menerima kenyataan bahwa orang terkasihnya, sang suami, tak lagi hadir di sisinya.

Malam tiba. Bersama secangkir kopi dan sebatang rokok di antara sela jari, aku termenung sendiri di depan posko sembari menatap jalanan, jalur yang baru saja memisahkan nyawa dari raganya. Dalam hati aku memekik! Takdir selalu tak bisa diprediksi. Pagi hari kelompok ini bersuka cita, bercengkrama, berbagi tawa. Di siang hari, kecelakaan terjadi dekat sekali. Dalam diam, diantara kepulan uap kopi dan asap rokok, aku berusaha mencerna semua kejadian ini. Mati, biarlah tetap menjadi misteri. Satu hal yang pasti: jalanan adalah tempat terakhir kita menginjak bumi. Maksudku, jalan menuju surga atau neraka, masing-masing dari kita yang bisa tentukan sendiri.

-WP-