Tentang Selera yang Berbeda (Bagian 2)

Lantas, bagaimana saya memandang diri saya sendiri?

Sederhana saja. Saya memandang diri saya sendiri sebagai orang normal dengan selera yang “berbeda”. Saya sama dengan orang-orang pada umumnya. Ini hanya masalah suka dan tidak suka. Bukankan setiap orang mengalami hal yang sama? Suka dan tidak suka hanyalah masalah selera. Subjektif. Suatu hal yang tidak bisa disalahkan. Kamu punya hak untuk menyukai sesuatu. Kamu punya hak untuk TIDAK menyukai sesuatu. Bahkan tanpa alasan sekalipun. Itu adalah hak.

Tentang Selera yang Berbeda (Bagian 1)

Kita tinggal di negara agraris bernama Indonesia. Sebuah negara dengan budaya berupa-rupa. Dari budaya yang biasa-biasa saja, hingga suatu yang cukup aneh kedengarannya. Salah satu budaya sebagian besar orang Indonesia adalah makan nasi sebagai makanan pokok. Tentu saja, hal ini didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang sangat mendukung untuk menanam padi. Saking banyaknya orang yang mengonsumsi nasi, negara kita bahkan harus mengimpor beras dari negara tetangga (haha, negara agraris apanya?). Yang menarik dari kebiasaan orang Indonesia dalam mengonsumsi nasi adalah munculnya ungkapan bahwa “seseorang belum bisa dikatakan sudah makan jikalau belum mengonsumsi nasi”. Ada teman saya yang mengaku belum sarapan padahal sudah menghabiskan lima lontong dengan tambahan lima tahu isi lengkap dengan secangkir kopi. Namun tetap saja, dia mengaku masih lapar kalau perutnya belum terisi nasi.

Benar-benar budaya yang unik namun tidak cocok dengan saya.