Tentang Selera yang Berbeda (Bagian 2)

Lantas, bagaimana saya memandang diri saya sendiri?

Sederhana saja. Saya memandang diri saya sendiri sebagai orang normal dengan selera yang “berbeda”. Saya sama dengan orang-orang pada umumnya. Ini hanya masalah suka dan tidak suka. Bukankan setiap orang mengalami hal yang sama? Suka dan tidak suka hanyalah masalah selera. Subjektif. Suatu hal yang tidak bisa disalahkan. Kamu punya hak untuk menyukai sesuatu. Kamu punya hak untuk TIDAK menyukai sesuatu. Bahkan tanpa alasan sekalipun. Itu adalah hak.



Saya tidak suka makan nasi. Bukankah itu sama saja dengan orang yang tidak suka makan duren karena baunya? Sama saja seperti orang tidak suka dengan makanan tertentu karena memang “nggak suka aja”. Serupa pemuda yang menyukai seorang wanita yang ketika diberi pertanyaan “mengapa?”, jawabannya adalah “nggak tahu, ya. Suka aja.” Persis! Tidak ada alasan spesifik yang melandasi kesukaan atau ketidaksukaan. Kembali ke selera masing-masing dan selera tidak bisa disalahkan.

Ah, saya baru sadar. Mungkin sesuatu yang membuat saya bermasalah dengan ketidaksukaan terhadap nasi adalah ungkapan di awal tulisan ini. Biar saya kutip lagi.

“Seseorang belum bisa dikatakan sudah makan jikalau belum mengonsumsi nasi.”

Sial! Sejenak saya terpikir untuk mencari tahu siapa pencetus ungkapan di atas. Ingin saya temui dia dan mengatakan bahwa karena ungkapan itu saya banyak mendapatkan masalah. Saya ingin berkata kasar kepadanya. “KASAR!”

Berbicara soal ketidaksukaan, saya memiliki teman dekat yang selalu saya ingat akibat dari ketidaksukaanya itu. Namanya Yadi. Dia tidak suka makan bawang berwujud. Maksudnya bagaimana? Singkatnya teman saya ini tidak suka semua jenis bawang. Apapun itu. Entah mengapa. Saya tidak pernah menanyakannya. Dia tidak suka melihat ada bawang di makanannya. Namun, jikapun makanan itu mengandung bawang, tapi bawangnya tidak terlihat, dia akan baik-baik saja. Makanannya akan dia habiskan. Jika Yadi pesan makanan, bakso misalnya, dia akan selalu berpesan kepada penjualnya: “Jangan pakai bawang goreng, Mang!” Jika bakso tersebut sudah terlanjur ditaburi bawang goreng, teman saya ini akan dengan sangat telaten mengeluarkan bawang-bawang itu dari mangkok dan membuangnya satu per satu. Selera bisa membuat seseorang serajin itu.

Ketidaksukaan Yadi terhadap bawang kadang saya manfaatkan untuk menjahili dia. Suatu malam kami menginap ramai-ramai di rumah seorang kawan. Seperti biasa, orang Sunda kalau sudah berkumpul, kegiatannya tidak jauh-jauh dari ngaliwet (masak nasi liwet dan makan bersama). Tidak masalah karena walaupun saya tidak suka nasi biasa tapi suka nasi liwet. Tugas membuat liwet kami serahkan kepada teman kami yang lebih ahli. Saya bertanggungjawab membuat sambal. Ketika semua sudah masak, tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Makan! Kami semua makan dengan lahapnya. Porsi nasi liwet yang cukup banyak hampir habis. Sambal buatan saya pun tak tersisa. Semua bahagia.
Setelah selesai makan, kegiatan berlanjut dengan obrolan hangat seperti biasa. Saya membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan.

“Gimana sambalnya, enak?”
“Wih! Mantap!” Semua menjawab dengen kompak.
“Tahu, nggak, rahasianya?” Saya melanjutkan pertanyaan.
“Apa, gitu?” Kini Yadi seorang yang merespon.
“LIMA PULUH PERSEN BAWANG!”

Semua bersikap biasa saja, kecuali Yadi. Dia terdiam. Mungkin mengingat-ingat apa yang sudah dia makan. Mukanya memerah. Dengan sekali tarikan napas, dia berkata.
“LU MAU NGERACUNIN GUE, KAMPRET?!”

Kami semua tertawa, kecuali tentu saja satu orang: Yadi.

Menjadi berbeda dari orang kebanyakan memang cukup memberatkan diri sendiri. Saya sendiri sering menjadi bahan ejekan teman-teman. Saya tahu ejekan itu hanyalah sebuah candaan, namun entah mengapa, kata-kata mereka sulit saya terima begitu saja. Sampai masuk ke hati. Sedikit tapi menusuk.

Ada sebuah pengalaman ketika saya sakit cukup parah. Ketika itu saya benar-benar mudah sakit. Seminggu demam. Sembuh beberapa hari. Demam lagi. Mungkin saat itu daya tahan tubuh saya sedang tidak bagus. Saya pada saat itu ingin sekali pulang ke rumah untuk beristirahat. Tapi tidak kuat. Alhasil saya hanya bisa tidur di kamar kost, menunggu kondisi tubuh sedikit membaik, baru kemudian pulang.

Di tengah istirahat saya yang nyaman, tetiba saya mendengar pintu kamar kost diketuk. Saya bangkit kemudian membukakan pintu. Julian, seorang kawan datang berkunjung. Dia sempat memandangi saya yang berdiri di depannya sambil berbalut selimut tebal. Kawan saya kemudian bertanya.

“Kenapa?”
“Sakit.” Jawab saya singkat.
“Sakit lagi? Sudah yang ke dua dalam sebulan, loh.” Lanjutnya.
“Iya, nih. Nggak tahu. Cuaca lagi nggak bagus mungkin.”
Setelah itu ia terdiam. Sejurus kemudian dia berkata.
“Makanya, makan nasi biar nggak sakit!”

Saya tahu dia bercanda. Tapi entah kenapa kata-kata itu terasa sakit rasanya. Saat itu saya seperti wanita dalam masa PMS-nya. Mudah tersinggung. Mari berpikir logis saja. Memangnya ada orang yang makan nasi tapi nggak pernah sakit? Kesal. Satu kata saja yang keluar dari mulut saya untuk dia.
“Berengsek!”

Sampai pada suatu saat saya mendengar kabar bahwa Julian sedang sakit demam. Sebagai sahabat yang baik, saya memutuskan untuk menjenguk. Di kamarnya, saya melihat ia terbaring lemah di atas kasur. Tubuhnya berbalut selimut tebal.

“Sakit?”
“Iya. Sudah dua hari.” Jawabnya.
Saya berpikir. Inilah kesempatan saya balas dendam.
“MAKANYA. MAKAN NASI BIAR NGGAK SAKIT!”
Julian tersenyum kecut. Saya tertawa penuh kepuasan.

Sebenarnya, di lingkungan pergaulan, saya tidaklah sendirian. Ada seorang teman dekat yang sama-sama tidak makan nasi. Saya menanggilnya Ve. Ve melakukan hal tersebut bukan karena tidak suka. Dia memutuskan untuk tidak makan nasi karena alasan kesehatan. Setelah sekian banyak membaca artikel kesehatan, dia mulai menyadari bahwa mengonsumsi makanan yang mengandung gula berlebih adalah gaya hidup yang tidak sehat. Seperti yang kita ketahui, salah satu sumber gula terbanyak ada pada nasi putih. Sejak saat itu, teman saya ini mulai mencoret nasi dan makanan “jahat” lainnya dari daftar kebutuhan makan.

Keputusan yang dibuat oleh Ve adalah keputusan revolusioner. Bagaimana tidak, dia pernah bercerita kepada saya bahwa dia adalah orang yang sangat suka makan. Kumpul keluarga, makan. Main dengan teman, makan. Gajihan, makan-makan! Kebiasaannya untuk makan banyak didukung oleh orang tuanya. Ayahnya, setiap kali pulang kerja membawakannya banyak makanan. Martabak, roti bakar, bakso, setiap makanan berlemak dan mengandung gula berlebih mungkin pernah dibawakan. Setiap hari. Ve bertanggung jawab untuk menghabiskan makanan-makanan itu. Meskipun sesekali merasa bosan dan kekenyangan, dia harus setidaknya mencicipi makanan pemberian ayahnya.

“Nggak enak kalau nggak dimakan sama sekali. Formalitas saja. Aku makan sedikit saja untuk menghargai usaha ayahku. Jangan sampai beliau tersinggung.”  Ungkapnya pada suatu obrolan.

Kini, Ve adalah orang yang berbeda. Demi perbaikan kesehatan dan pola hidup yang lebih baik, dia hanya makan buah dan sayur. Ia menghindari makan nasi putih dan sesekali hanya makan nasi merah. Beda katanya. Makanan berlemak ia tolak. Gorengan? BIG NO! Ve bahkan menolak makan makanan yang dulu pernah menjadi makanan favoritnya. Seblak. Ia akan merasa sangat berdosa ketika satu saja makanan “bergula” masuk ke dalam tubuhnya karena suatu alasan. Contohnya ketika momen lebaran, Ve dengan sangat terpaksa mencoba makan satu buah kue kering. Alasannya? Kangen akan rasanya. Setelah itu, rasa bersalah menghantui pikirannya. Ia telah berubah. Dan menurutku, Ve telah berubah menjadi lebih baik, setidaknya dalam pola makan.

Tetap saja. Niat baik tak selalu berjalan baik. Perubahan Ve dari orang yang bisa dengan mudah menghabiskan tiga potong pizza dalam waktu singkat menjadi seseorang yang mungkin bisa saya sebut “VEgetarian”, mendapat banyak cobaan. Sama seperti saya, karena seleranya yang berbeda, ia selalu berurusan dengan berbagai pertanyaan.

“Memangnya enak makan sayur dan buah saja?”
“Kenapa?”
“Makan sayur dan buah memangnya bikin kenyang?”
“Bagaimana kalau nanti sudah bersuami? Apa tidak akan merepotkan?”

Dan pertanyaan mengganggu lainnya.

Di suatu obrolan malam via pesan Whatsapp, Ve bercerita kepada saya tentang pertanyaan dari ayahnya yang cukup mengganggunya.
“Teh, mau sampai kapan makan sayur dan buah terus?”

Saya menerka, pertanyaan itu seolah meragukan tekad Ve untuk hidup sehat dengan tidak mengonsumsi makanan-makanan yang kelak akan membuatnya menyesal. Setelah saya menyimak dan memberinya beberapa kalimat balasan, ia melanjutkan pertanyaan.
“Menurutmu, aku aneh, nggak?

Cukup lama saya memandangi layar. Saya seolah dapat merasakan keresahannya. Ve merasa bahwa menjadi sedikit berbeda mungkin akan membuat dia dicap aneh oleh lingkungannya. Saya pikir inilah yang selalu saya rasakan selama ini. Kami meresahkan hal yang sama.

“Tidak. Kamu tidak aneh. Kita hanya berbeda soal selera. Itu normal-normal saja kurasa.” Jawab saya.

Ve membalas dengan sebuah emoticon senyuman.

Hidup sebagai orang yang seleranya berbeda dari kebanyakan orang dalam lingkungan sehari-hari membuat saya lebih toleran terhadap perbedaan. Saya merasakan keresahan orang-orang dengan kondisi sedikit “berbeda”. Keresahan kami mungkin sama. Takut tidak diterima. Bosan dengan berbagai pertanyaan yang itu-itu saja. Terganggu karena ejekan yang sebenarnya bermaksud untuk bercanda. Keinginan kami sama. Atas selera kami yang berbeda, kami ingin dimengerti. Itu saja.

Inti dari tulisan singkat ini adalah bahwa tidak apa-apa menjadi berbeda, khususnya dalam hal selera. Kesukaan atau ketidaksukaan terhadap sesuatu ada hak dan pilihan yang tak harus diperdebatkan. Biarkan saja. Dengan atau tanpa alasan sekalipun, sebuah pilihan untuk menjadi berbeda harus dihormati. Memang, berat jika ketidaksukaan kita berhadapan dengan kesukaan mayoritas yang diamini masyarakat. Seperti saya dan Ve yang memilih untuk tidak mengonsumsi nasi. Seperti Yadi yang tidak suka bawang. So, what? Bukankah setiap orang pun melakukan hal yang sama?

Harus diakui, memiliki rasa ketidaksukaan terhadap sesuatu yang tidak umum memang merepotkan. Tapi itulah risiko yang harus kita hadapi. Ketika memilih untuk berbeda, maka kita harus siap untuk berlaku dan diperlakukan berbeda. Seperti Yadi yang harus memisahkan setiap bawang di kuah bakso satu persatu sebelum bisa menikmati semangkok bakso yang lezat. Seperti Vera yang memilih hidup sehat dengan risiko mendapatkan pertanyaan “sampai kapan?” seolah tekadnya untuk memperbaiki diri diragukan akan lama bertahan. Seperti saya yang setiap kali berada dalam acara makan bersama selalu disibukkan dengan pencarian makanan pengganti nasi walaupun, memang seringnya gagal. Dianggap “aneh” karena makan hanya lauknya saja. Dan karenanya, suasana makan bersama tak jarang berakhir dengan kesan yang kurang menyenangkan.

Kita berbeda dalam selera. Lalu apa masalahnya?

Jika kalian pernah berhadapan dengan orang-orang semacam kami, cobalah untuk sedikit lebih mengerti. Keadaan kami memang seperti ini. Beberapa dari kami memiliki selera yang berbada bukan karena kesengajaan melainkan karena keterpaksaan. Menjadi berbeda bagi kami kadang merepotkan juga. Saya kadang mengutuk ketidaksukaan saya terhadap nasi. Meratapi diri. Hanya karena masalah yang menurut saya seharusnya tidak jadi masalah, banyak hal sulit yang harus saya hadapi. Bisakah kalian ketika berhadapan dengan orang yang seleranya berbeda, tidak menyibukan kami dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa?

“Eh, kok gitu? Aneh banget!”
Iya, kami memang aneh.

“Terus makannya apa, dong?”
Ada jutaan jenis makanan yang diketahui dan tidak diketahui di dunia ini. Kami bisa makan salah satunya.

“Cobain, dong. Sekali aja. Enak, kok. Sekali coba, kamu akan suka!”
Tidak. Kami sudah mencoba. Berkali gagal dan setiap kegagalan dalam mencoba selalu membuat siksaan yang lebih hebat.

“Nanti bagaimana kalau sudah berkeluarga? Bakalan ngerepotin pasangan.”
Itu urusan nanti. Bukankah orang yang saling mencintai akan mencoba untuk saling mengerti?

Saya lebih menghargai seseorang yang sekadar berkata “Oh, iya. Yasudah, makan yang ada saja.” Bagi saya, kalimat itu sudah cukup untuk membuat saya merasa diterima.
Tentang selera yang beraneka rupa: Saya berbeda, kamu berbeda, dia berbeda, setiap orang pun berbeda. Bisakah kita mulai bersikap biasa saja?

Semoga kamu mengerti.
Salam~



Catatan Kaki:
Susah juga hidup dalam standar masyarakat yang absurdnya nggak tertolong. Contoh, ya. Beberapa orang memilih untuk tidak makan nasi karena alasan kesehatan. Beberapa mempertanyakan, yang lain bertepuk tangan. Ada juga yang menjadikan mereka contoh kebaikan. Sedangkan saya yang sejak kecil tidak makan nasi malah jadi bahan pergunjingan di masyarakat. Hahahaha.

No comments:

Post a Comment