Tentang Selera yang Berbeda (Bagian 1)

Kita tinggal di negara agraris bernama Indonesia. Sebuah negara dengan budaya berupa-rupa. Dari budaya yang biasa-biasa saja, hingga suatu yang cukup aneh kedengarannya. Salah satu budaya sebagian besar orang Indonesia adalah makan nasi sebagai makanan pokok. Tentu saja, hal ini didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang sangat mendukung untuk menanam padi. Saking banyaknya orang yang mengonsumsi nasi, negara kita bahkan harus mengimpor beras dari negara tetangga (haha, negara agraris apanya?). Yang menarik dari kebiasaan orang Indonesia dalam mengonsumsi nasi adalah munculnya ungkapan bahwa “seseorang belum bisa dikatakan sudah makan jikalau belum mengonsumsi nasi”. Ada teman saya yang mengaku belum sarapan padahal sudah menghabiskan lima lontong dengan tambahan lima tahu isi lengkap dengan secangkir kopi. Namun tetap saja, dia mengaku masih lapar kalau perutnya belum terisi nasi.

Benar-benar budaya yang unik namun tidak cocok dengan saya.


Biar saya perjelas! Saya adalah orang Indonesia YANG TIDAK MAKAN NASI. Aneh? Jawabannya adalah “belum”. Saya tidak suka nasi tapi saya makan nasi goreng. Saya bahkan bisa memasak nasi goreng. Dan enak. Terbukti ketika masa-masa KKN dulu, saya pernah membuatkan nasi goreng untuk teman-teman di posko KKN. Saya sempat bertanya apakah nasi gorengnya enak. Sepakat mereka menjawab “enak” (entah jujur atau tidak haha). Secara spesifik, saya tidak suka nasi putih tapi saya makan nasi liwet. Bahkan saya bisa katakan bahwa membuat nasi liwet yang enak itu mudah. Lebih khusus lagi saya tidak makan nasi yang dimasak biasa, tanpa bumbu. Beras putih, beras merah, beras ketan, selama mereka ditanak tanpa bumbu, saya tidak bisa memakannya.

Bagaimana? Sudah mulai memandang saya aneh?

Sejak kecil saya memang tidak suka makan nasi. Saya pernah menanyakan keanehan kepada orang tua saya dan jawabannya adalah “tidak tahu”. Ibu selalu bercerita bahwa saya selalu menolak ketika disuapi nasi. Tidak seperti anak lain yang kalau tidak suka terhadap suatu makanan, mereka akan tetap membuka mulut, mengunyah, serta mencoba merasakan makanan yang diberikan. Walaupun pada akhirnya mereka akan muntah. Saya tidak seperti itu. Ketika disuapi nasi, saya bahkan tidak mau membuka mulut.

Ibu sudah melakukan berbagai hal. Mulai dari mencampur nasi dengan sayur, menakut-nakuti tentang masa depan saya yang akan sangat sulit jika tidak mau makan nasi, sampai berkonsultasi dengan dokter ahli gizi untuk membuat saya setidaknya mencoba makan nasi. Saya sendiri berusaha keras untuk mengubah kebiasaan ini. Ketika masih SMK, saya pernah menantang diri saya sendiri untuk makan nasi. Sesuap saja! Nasi sudah tersedia di piring. Saya ambil dengan sendok. Saya dekatkan nasi itu ke mulut, namun gagal.  Sedikitpun tak ada keyakinan di pikiran saya untuk membuka mulut. Tubuh saya menolak. Pada akhirnya, saya dan orang tua menyerah dan mulai memaklumi “kelainan” ini. Apapun yang kelak akan terjadi, terjadilah…

Sesuai dugaan, kekhawatiran ibu tentang hidup saya yang akan sulit karena tidak suka makan nasi benar-benar terjadi. Saya sering dibuat repot karena kelainan ini. Rasanya geregetan terhadap diri sendiri. “Kenapa, sih, kamu berbeda, Pep? Repot, kan ketika orang lain makan nasi sementara kamu hanya bisa menonton mereka merasakan kenikmatan duniawi?” Ah, setiap kali terpikirkan hal itu, saya selalu ingin pindah ke negara yang makanan pokoknya roti.

Anyway, berikut ini adalah kondisi-kondisi yang membuat saya menyesali kondisi saya yang “berbeda”.

1. Ospek Sekolah dan Kuliah
Orang yang pernah bersekolah atau kuliah pasti pernah merasakan masa-masa ospek atau masa orientasi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membuat para mahasiswa baru terbiasa dengan lingkungan kampus dan sistem perkuliahan. Biasanya, para maba (mahasiswa baru) diharuskan untuk mengenakan pakaian tertentu dan membawa makanan serta minuman tertentu yang kadang bikin geleng-geleng kepala. Pernah ketika masa orientasi sekolah di SMK dulu, para junior disuruh untuk membawa makanan luar angkasa. Apaaaaa coba? Ternyata makanan yang dimaksud adalah keroket (Ke ROKET). Absurd -_-.

Kegiatan ospek biasanya berlangsung selama seharian penuh. Bahkan ada yang sampai malam dan menginap di kampus. Sebagai warga Indonesia yang menjunjung tinggi pola makan tiga kali sehari, kami diharuskan membawa makanan untuk kami makan (ya iya, lah). Dan pastinya yang harus dibawa adalah tidak lain dan tidak bukan: Nasi.
Di sinilah masalah saya bermula.

Ospek bagi saya adalah hal yang cukup menyeramkan. Saya selalu kebingungan. Seharian berkegiatan pasti lapar tak tertahankan. Saya harus makan. Tapi makan apa? Mau beli makanan di luar pun nggak bisa karena para senior selalu mengawasi kita. Belum lagi waktu makan yang dibatasi secara tidak manusiawi. Saya ingat pernah disuruh menghabiskan makanan dalam waktu dua menit saja. Kalau tidak habis, siap-siap lah dapat hukuman. Disuruh joged di depan ruangan atau diharuskan nembak cewek dari kelas sebelah yang randomnya saya nggak tahu. Bayangkan! Sopir bus yang lagi kejar setoran aja nggak segitunya!

Pada kondisi seperti ini, saya dipaksa untuk kreatif dan jujur. Saya tetap membawa nasi di dalam tas. Untuk jaga-jaga, saya juga membawa beberapa roti. Pada waktu makan tiba, saya akan mengacungkan tangan dan memanggil seorang senior kemudian mengakui bahwa saya berbeda sambil berbisik-bisik agar orang di sebelah tidak tahu. “Kak, saya tidak makan nasi. Bolehkan saya makan makanan lain? Saya bawa roti sebagai gantinya.” Beruntung. Saya selalu dipertemukan dengan senior yang mudah untuk mengerti. Saya diizinkan untuk makan roti sebagai pengganti nasi. Saya tidak bisa membayangkan jika dipaksa untuk makan nasi. Sulit membayangkan apa yang akan terjadi. Mungkin saya bisa muntah-muntah di depan banyak orang. Malu tak tertahankan. Saya mungkin tidak mau lagi masuk sekolah. Masa depan saya suram hanya karena satu hal: tidak suka nasi.

2. Kondangan Pernikahan
Terlepas dari keharusan untuk memberikan amplop berisi uang atau kado pernikahan, saya suka dengan kegiatan kondangan. Apalagi kalau yang mengundang adalah teman dekat atau teman kampus. Senang sekali rasanya bisa melihat kawan seperjuangan akhirnya menemukan cinta sejati dan mengesahkan hubungannya lewat pernikahan. Kondangan juga bisa jadi ajang untuk “reunian”. Orang-orang yang sudah memilih jalan masing-masing sejak hari ditetapkannya kelulusan, pada momen kondangan ini bisa kembali dipertemukan. Segala hal bisa diperbincangkan, mulai dari pertanyaan sederhana seperti “kerja dimana?”, “Ini siapa?” sambil nunjuk ke seseorang yang sedang digandeng mesra, “kapan nyusul?”, hingga bergosip tentang pengantin yang sedang duduk di pelaminan. Kami adalah tamu undangan yang berengsek.

Satu hal yang saya benci dari kegiatan kondangan adalah makan prasmanan. Setelah kegiatan bersalam-salaman dan foto bersama dilakukan, para tamu langsung diarahkan untuk makan. Sistemnya prasmanan. Kita diberi piring dan sendok, kemudian dipersilakan untuk mengambil makanan yang tersedia. Dalam kondisi ini, saya biasanya mengambil lauknya saja untuk saya makan. Nasi? Lewat saja, deh. Dia tidak menarik sama sekali. Sampai di sini semua berjalan sesuai rencana. Sampai seorang penjaga meja prasmanan bertanya “Kok, nggak pake nasi?”

Entah mengapa, ada perasaan malu untuk mengakui kalau saya memang tidak makan nasi. Saya merasa kalau kelainan saya bukan untuk diketahui semua orang. Kenapa kepo, sih? Pada intinya, saya malu terlihat “berbeda”.

Karena sudah terlalu sering mendapatkan pertanyaan yang sama di momen yang sama pula, saya sering menjawab sekenanya saja. Iseng, saya pernah menjawab “Sedang diet. Hehehe.” sambil cepat-cepat mengambil makanan selain nasi. Apapun saya lakukan untuk segera menjauh dari meja prasmanan dan penjaganya yang kepo untuk kemudian makan dengan tenang. Sialnya, ada teman kondangan saya berengsek tiba-tiba nyeletuk.

“Badan macam tiang bendera gitu, diet?”

Yes, I am skinny and my friend is an ass hole. -_-

3. Buka Puasa Bersama
Proses perencanaan buka puasa bersama (bukber) biasanya diawali dengan chat basa-basi berisi pesan kerinduan di grup whatsapp yang sudah lama tak pernah ada tanda-tanda kehidupan.

“Eh. Kangen, nih!”
“Iya. Sudah lama nggak ketemu.”
“Bukber, yuk?”
“Ayuk! Kapan?”

Setelah pertanyaan terakhir itulah perdebatan alot terjadi. Kalau beruntung, tanggal bisa ditetapkan dan obrolanpun bisa dilanjutkan.

“Oke. Fix, ya tanggal segini?”
“Sip! Dimana?

Pada saat pertanyaan “dimana?” itu dilontarkan, saya akan jadi orang pertama yang menjawab.
“Saya tidak makan nasi. Kalau bisa di tempat yang ada menu selain nasi.”

Kalau kamu pernah menjadi panitia bukber, permintaan seperti ini pasti akan terasa sangat merepotkan. Di bulan ramadan, tempat-tempat makan biasanya hanya menyediakan paket buka bersama. Seperti yang sudah bisa ditebak, menunya pasti nasi. Ada beberapa tempat yang menyediakan menu selain nasi mulai jam 7 malam. Orang lain sudah beres makan, saya sudah keburu lemas kelaparan.

Saya tidak selalu beruntung dalam situasi macam ini. Pengalaman bukber terakhir bahkan menjadi bukber paling aneh. Susah sekali menemukan restoran yang menyediakan menu selain nasi sekaligus belum dibooking oleh orang lain. Ada yang menyediakan menu selain nasi tapi kembali ke permasalahan awal, harus pesan di atas jam 7 malam. Ya sudahlah. Mau tidak mau permintaan saya tidak bisa dikabulkan. Tapi berhubung saya rindu dengan teman-teman yang sudah jarang bisa bertemu, saya tetap datang ke acara bukber tersebut. Saya duduk di restoran, ngobrol dengan teman-teman seperti biasa. Ketika waktu berbuka tiba, saya ikut berbuka bersama dengan makanan yang (diam-diam) saya bawa dari luar. Tidak tahu malu, memang.

4. Ketakutan Jika Tidak Diterima oleh Calon Mertua
Mungkin, ini adalah salah satu ketakutan terbesar dalam hidup saya. Saya tidak memiliki rencana untuk selamanya sendiri. Saya akan menemukan seseorang yang selamanya akan saya cintai. Kami kemudian menikah, memiliki anak yang lucu, menua bersama seraya menyaksikan mereka menantang dunia. Hanya saja, permasalahan muncul kembali. Adakah orang tua yang mau menerima calon menantu yang tidak makan nasi? Maukah mereka menerima? Maukah mereka mengerti? Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali terngiang di kepala. Membuat saya ragu. Bisakah saya diterima?

Ketika tulisan ini dibuat, saya tidak sedang berpacaran dengan siapapun. Hanya saja saya sedang mendekati dan memperjuangkan seseorang yang istimewa. Beberapa kali saya datang ke rumahnya. Sekadar melepas rindu dengan si dia atau bersilaturahim dengan orang tuanya. Syukur-syukur bisa ngobrol dengan bapaknya dan mengenal beliau lebih jauh. Keakraban dengan orang baik tak pernah terasa salah, bukan? Namun, karena berbagai alasan dan keadaan, keinginan itu urung terlaksanakan sampai sekarang.

Setiap kali saya berkunjung ke rumahnya, saya selalu menghindari jam-jam makan. Sebagai catatan, saya selalu berkunjung ke rumahnya pada pagi atau siang hari. Saya pernah main jam 8 pagi dan ketika sampai di rumahnya, saya disambut pertanyaan “Nyubuh?”. Ketika hampir datang jam makan siang, saya akan segera pamit pulang. Hal itu saya lakukan semata-mata untuk bisa menghindari tawaran makan bersama dari orang tuanya. Apa yang harus saya katakan untuk memberi tahu mereka kalau saya tidak makan nasi?

Pernah suatu hari saya lupa waktu saking betahnya. Jam sudah menunjukan pukul 12 siang. Saya baru sadar. Baru saja terpikir untuk segera pamit pulang, ibu si dia menghampiri kami dan mengajak makan.

“Makan dulu! Sudah disiapkan.”
“Iya, Bu. Hehe, silahkan duluan.” Saya mengulur waktu walaupun saya tahu itu akan sangat percuma.
“Eh, ayo! Makan.”

Saya berpikir lama. Hidangan sudah ada di depan mata. Di sanalah musuh saya berada. Nasi! Di tengah kebingungan itu, saya memutuskan untuk berkata jujur tentang ketidaksukaan saya terhadap nasi. Saya berpikir, siapa tahu orang tua si dia sama seperti kakak senior tempo hari yang mudah untuk mengerti.

“Maaf, Bu. Saya tidak makan nasi.”
“Eh, Jadi makan apa?”
Saya tidak menjawab.
“Mau dibuatkan mie?”

Saya mengangguk.

Saya makan. Si dia makan. Orang tuanya makan. Yang membedakan hanyalah apa yang kami makan. Mereka makan nasi, saya sendiri makan mie. MALU.

Sejak kejadian itu, saya mulai bertanya kepada diri saya sendiri. Apa mungkin, dengan kondisi saya yang seperti ini, saya akan mudah diterima sebagai “anggota keluarga”?



No comments:

Post a Comment