Dari Kang Maman

Sabtu yang indah,

Meski kata orang saat ini tanda-tanda akhir zaman semakin tampak: ● Gelar semakin tinggi, akal sehat semakin rendah. ●Travelling keliling dunia, tapi tidak kenal tetangga sendiri. ● Penghasilan semakin meningkat, ketenteraman jiwa semakin berkurang. ● Kualitas Ilmu semakin tinggi, kualitas emosi semakin rendah. ● Jumlah Manusia semakin banyak, rasa kemanusiaan semakin menipis. ● Pengetahuan semakin bagus, kearifan semakin berkurang. ● Semakin banyak teman di dunia maya, tapi tidak punya sahabat yg sejati. ● Pakai jam tangan mahal, tapi tak pernah tepat waktu. ● Ilmu semakin tersebar, adab dan akhlak semakin lenyap ● Belajar semakin mudah, guru semakin tidak dihargai. ● Teknologi Informasi semakin canggih, fitnah dan aib semakin tersebar. ● Orang yg rendah ilmu banyak bicara, orang yg tinggi ilmu banyak terdiam. ● Tontonan semakin banyak, tuntunan semakin berkurang... Mengapa tetap indah?

Karena saya percaya,
Dia tak pernah meninggalkanku.
Karena meski ada kabar buruk:
tak ada yang sempurna dalam hidup ini.
Tapi selalu ada kabar baik:
tak perlu sempurna utk bisa menikmati hidup

Dari Kang Maman

Puisi dan Kebiasaan

Ada 100 juta orang miskin luarbiasa di negeri saya
Minum mimpi, makan angan-angan, sudah sangat lama
-Gurindam Dua (Kesatu) karya Taufiq Ismail


Apa makna puisi bagi saya? Puisi, bagi saya adalah sebuah alat, media yang memungkinkan seorang yang miskin sekalipun untuk bisa "berbagi". Puisi memungkinkan penulisnya untuk mengekspresikan apapun yang ada di otaknya. Puisi itu bebas. Bebas dalam artian yang sesungghnya. Tidak ada aturan baku. Hanya ada makna tersembunyi yang mungkin hanya sang penyairlah yang tahu.

Ada beberapa penyair puisi yang saya kagumi. Joko Pinurbo, Taufiq Ismail, W.S. Rendra, Widji Thukul, beberapa puisi mereka memang indah. Ada hal yang tidak bisa ditangkap dari puisi mereka melalui penalaran biasa. Ada makna yang tersembunyi menanti untuk ditemukan.

Ada sebuah kebiasaan yang sering saya lakukan ketika membaca sebuah puisi. Kebiasaan itu adalah mmukulkan buku/naskah puisi yang saya baca ke jidat saya. Mungkin orang mengaggapnya aneh. Tapi itulah saya. Sebenarnya kebiasaan itu adalah sebuah penghargaan bagi puisi yang saya rasa puisi paling JENIUS. Puisi yang harus dibaca berulangkali untuk bisa mendapatkan makna yang dimaksud. Setelah saya sadar akan makna puisinya, saya akan merasa puisi itu layak disebut JENIUS dan secara bersamaan menganggap kemampuan berpuisi saya masih sangat AMATIR.

Sudah sekian tahun mayatku hilang
Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang.
“Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan,
nonton komedi manusia di kebun binatang.”
Begitu ia dulu pamitan.

-Joko Pinurbo (Celana)

Keur Bapa

BAPA ...
Bapa….sok sanajan teu reuneuh tapi
getihna ngocor ka budak
Bapa…..sok sanajan teu ngajuru tapi
sora bapa nu pangheulana kadenge ku sora adzan
Bapa…..sok sanajan cape beurang peting gawe kurang sare belaan anak pamajikan bisa dahar
Bapa….sok sanajan teu meuli baju
lebaran nu penting anak pamajikan bisa make baju lebaran
Bapa…sok sanajan saurna jeung kurupuk nu penting anak pamajikan bisa jeung daging hayam
Bapa….sok sanajan sertipikat imah,
BPKB digadekeun ka BANK tetep bapa nu mayar
nu penting anak bisa sakola pamajikan bisa ngiuhan
Sing nyaah jeung hormat kanu jadi bapa
sok sanajan surga aya di dampal ema
tapi moal aya surga mun eweuh
karidhoan nu jadi bapa
Ya Alloh pasihan kabagjaan rejeki nu
gampil tuur barokah, sehat sareng
surga nu langgeung kanggo bapa nu
tanggung waleur ka kulawargana…….Amiin...


Dikutip dari: https://www.facebook.com/Katabijakbasasunda/photos/a.156710184466701.34080.156707614466958/789469877857392/?type=3&theater

Perjalanan Menemukan Nama

Nama gue Apep. Lengkapnya itu Apep Wahyudin. Mungkin nama ini terkesan aneh. Coba deh loe search di google kata “apep”. Yang keluar adalah gambar dewa Mesir berwujud ular.
Ketika gue pertama kali menghirup udara dunia, gue bernama Wahyudin. Nama itu kayaknya adalah nama yang paling religius diantara nama-nama anggota keluarga besar gue. Wahyudin adalah nama pemberian almarhum bapak. Beliau emang paling jenius urusan ngasih nama. Setidaknya untuk nama gue.

Karena gue adalah orang sunda dan anak cowok bungsu, gue dipanggil “Asep” sama emak gue. You know laaah banyak banget nama Asep di dunia ini. Sampai ada komunitasnya segala. Iya, ada loh komunitas yang semua anggotanya bernama Asep. Mungkin nama Asep suatu saat akan menyaingi kepopuleran tahu bulat.

Asep adalah nama kecil yang disematkan kepada anak kecil cowok di kalangan orang sunda. Ada juga nama “Ujang” yang merupakan kompetitor terbesar untuk nama “Asep”. 

Menurut cerita emak, ketika gue lagi diasuh, gue yang waktu itu masih berumur dua tahun selalu niruin kata-kata emak. Ya, pastinya kata-kata yang keluar juga nggak sejelas dan sebagus suaranya Raisha atau Isyana Sarasvati. Loe tahu laah standarnya suara bayi. Lebih mirip suara orang mabok jamur daripada suara penyanyi dengan penonton alay.

Ketika, emak manggil gue dengan sebutan “asep”, dengan spontan gue niruin ucapannya. Tapi, yang keluar dari mulut gue waktu itu bukan “Asep”, tapi “Apep”. Entah itu karena faktor umur atau itu bayi lagi mabok jamur sehingga omongannya ngelantur.

Sejak saat itu gue resmi dipanggil Apep. Tapi itu Cuma nama panggilan. Di akta kelahiran masih tercantum nama Wahyudin saja (nggak pake saja). Waktu kenalan sama orang, gue selalu nyebutin nama Wahyudin, tapi gue akan selalu minta dipanggil Apep.

Nama Wahyudin sendiri (cieee sendiri, pasti jomblo, hahaha) masih bertahan sampai kelas enam SD. Gue sih nyaman-nyaman aja dengan nama itu. Tapi, itu kayaknya nggak berlaku untuk bapak tua yang namanya selalu terpampang di meja paling depan di kelas.

Wali kelas jenius waktu itu ngerasa kalau nama Apep harus dijadiin nama asli karena gue emang lebih sering dipanggil dengan nama aneh itu. Bahkan nggak ada sama sekali orang yang manggil gue Wahyudin, Wahyu, atau bahkan Udin.

Hanya ada seorang wanita beruban, yang lebih mirip harum manis tanpa warna dikasih kepala, yang manggil gue dengan sebutan paling aneh. Setiap kali gue lewat di depan rumahnya, selalu ada sapaan khas. “Tos, timana Ayu?” Itu artinya “Darimana, Ayu?”

Ya, gue dipanggil Ayu. Loe bayangin, gue adalah cowok tulen yang dipanggil dengan nama cewek. Dalam bahasa jawa Ayu itu kan artinya “cantik”. Gue heran, itu kata “ayu” dia dapet dari mana? Nggak ada kata ayu dalam kata “Wahyudin”.

Akhirnya atas saran dari wali kelas jenius itu, kolom nama di akta kelahiran gue bertambah panjang. Sejak kelas 6 SD, nama gue resmi menjadi Apep Wahyudin. Gue nggak lagi dapet pertanyaan “kok, dipanggil apep? Nggak nyambung banget.” dari siapapun sejak saat itu. Tapi, yang paling nggak enak adalah gue harus pindah tempat duduk ke barisan paling depan ketika UAS atau UN.

Itulah sejarah absurd  dari nama gue. Mungkin Cuma bayi yang lagi mabok jamur yang bisa ngasih nama buat dirinya sendiri (sendiri lagi). Tapi, gue selalu bangga dengan nama itu. Kalau kata “Apep” dipisah menjadi “A Pep”, maka dalam bahasa Inggris frase itu berarti “sebuah semangat”. Hidup Apep !!!

Maret

Maret beberapa tahun lalu.
Aku telah lama tahu, saat itu akan tiba.
Ya, sebatas itulah mungkin apa yang terlintas di pikiran seorang anak 13 tahun yang baru menduduki bangku SMP. Aku terlalu belia untuk mengerti segalanya.