Kopi Yang Sama

Sepeninggalanmu, aku masih rutin 'ngopi' di tempat yang sama. Selepas senja menjelang maghrib, kursi-kursi ini tak pernah bosan menyambutku dengan hangat. Persis seperti hangatnya sambutanmu di waktu itu. Rapi mereka berbaris, bersiap memberikan kenyamanan untuk setiap insan yang datang.

Postur Tubuhku

Namaku Apep Wahyudin. Tubuhku tinggi, melebihi tinggi rata-rata manusia penghuni kelas. Entahlah, berapa tepatnya tinggi badanku saat ini. Tak pernah aku tertarik untuk mengukurnya. Yang jelas, setiap kali bertemu dengan orang baru, orang itu selalu berkata: “Wah, kamu tinggi sekali!”



Namun, tahukah kamu kalau aku adalah siswa terpedek saat SMP? Aku memiliki seorang sahabat seumuran. Kami bersekolah di SMP yang sama. Ketika itu, dia sudah memperlihatkan tanda-tanda pubertas. Tubuhnya membesar dan bertambah tinggi. Aku? Masih saja kecil dan pendek.

Kesal dengan postur tubuh yang tidak bisa dibanggakan, aku mulai melakukan beberapa usaha untuk mengubah hal tersebut. Pertama, setiap pagi, segelas susu menjadi menu yang wajib masuk ke tubuhku. Kedua, aku mulai ikut-ikutan latihan bola basket bersama kawan-kawan di ekstrakurikuler. Ketiga, dari internet aku tahu kalau buah pisang bisa menambah tinggi badan. Yasudah, pisang masuk dalam daftar buah yang harus dimakan secara konsisten. Demi tinggi badan!

Masuk SMK, tinggi badanku tidak mengalami perubahan yang berarti. Aku masih saja pendek seperti dulu. Hingga aku sadari, kebiasaanku berjalan kaki dari rumah menuju jalan raya sejauh 2 kilometer setiap hari mulai menampakkan efeknya. Tinggi badanku bertambah dengan pesat. Dalam kurun waktu 3 tahun, sekitar 25 sentimeter tambahan tinggi badan telah aku dapatkan.

Mungkin memang sifat alami manusia yang tak pernah bisa merasa puas. Selalu saja ada yang kurang dari hidupnya. Setelah penambahan tinggi badan didapat, aku malah dipusingkan dengan masalah lain. Aku terlalu tinggi! Ternyata menjadi seseorang berpostur tiang listrik tidak semudah apa yang dibayangkan. Aku selalu kesulitan untuk duduk di dalam bus karena jarak antarkursi yang terlalu dekat sehingga dengkulku tak mendapat ruang yang pas. Kasur lantai dan selimut harus diganti. Ternyata, perangkat tidur itu hanya bisa menampung tubuhku sampai betis. Sisanya, terasingkan dari kehangatan.

Dari kisah ini aku belajar. Kadang apa yang kita inginkan tak seindah apa yang kita bayangkan. Orang lain terlihat senang, padahal dialah orang yang menyimpan kesedihan paling dalam. Begitu pula sebaliknya. Kadang, menikmati apa yang ada jauh menentramkan daripada mengejar sesuatu yang tak pernah kita mengerti realitanya.