Kejujuran Secangkir Kopi

Aku masih sangat ingat semuanya
Saat itu, tanpa alasan yang jelas, kau undang aku untuk menikmati suasana senja di sebuah kedai kopi. Aku yang saat itu sedang sangat jatuh cinta kepadamu berpikir bahwa itu adalah sebuah rencana yang sangat romantis. Kau sendiri tahu bahwa aku adalah pria penikmat kopi sekaligus pengagum senja.


Saat itu kau memintaku untuk tidak menjemputmu. "Ketemu langsung di cafe saja." Sebuah pesan singkat yang membuatku bertanya-tanya.

Kau sudah ada di depan barista ketika aku tiba di cafe yang kau maksud. Sebuah senyuman sehangat senja seperti otomatis merona dari raut wajahmu, mempersilahkanku masuk. Sebuah langkah mantap kuayunkan membawa tubuhku mendekatimu.

Dalam benakku, sore ini akan menjadi sore yang bakal aku kenang seumur hidup. Senja yang menawan, secangkir kopi selalu bijak pada tiap tetesnya, perbincangan hangat diselingi tawa khasmu, dan kau. Sebuah kombinasi yang apik, sebentar lagi akan kunikmati setiap detik momen itu.

Ketika aku dengan semangat hendak memesan secangkir macchiato favoritku, kau buru-buru mencegahku. "Kali ini, biar aku yang pesankan." Aku iyakan saja.

Senja datang dan kita berdua telah duduk saling memandang satu sama lain. Secangkir cappuccino untukmu, dan secangkir kopi hitam pekat untukku. Barulah kusadari, ada yang salah dengan sikapmu. Senja menjadi saksi betapa dingin sikapmu. Betapa diam bibirmu membisu. Kau tertunduk.

"Kopinya sudah mulai dingin." Katamu membuka percakapan setelah senja perlahan mati. Dingin yang sedari tadi menyelimuti kau dan segala sikapmu, kini berpadu dengan dinginnya angin malam.

"Ayo, minum kopinya." Bisikmu masih dengan dingin yang sama.
"Pahit." Aku menyeringai. Secangkir kopi hitam yang kau pesankan datang tanpa sedikitpun gula larut di dalamnya. Benakku kian bertanya tentang apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya?

"Iya, pahit. Itulah rasanya sebuah kejujuran. PAHIT!" Sempat hendak kutanyakan apa maksud dari kalimat itu, kau segera memotong kalimatku.

"Sekali-kali, pesanlah secangkir kopi tanpa gula. Agar kau tahu rasanya jatuh pada pilihan yang salah."

Dalam bingungku, dalam diammu, tak lagi bisa kudengar suara-suara lain kecuali kesunyian. Dalam kebingungan yang terus memenuhi pikiranku dengan sejuta tanya, kau terisak.


#WangsaPutera
Apep Wahyudin

No comments:

Post a Comment